Perbedaan “Cicak vs Buaya” Jilid 3 dengan Jilid 1 dan
2
Dengan
dibantu oleh Divisi Hukum Mabes Polri, Rabu, 21 Januari 2014, secara resmi
Komisaris Jenderal Budi Gunawan mengajukan permohonan praperadilan terhadap
KPK, karena telah menetapkanya sebagai tersangka kasus korupsi (gratifikasi).
Kadiv
Humas Mabes Polri Irjen Pol Ronny F Sompie mengatakan, Budi Gunawan, telah
menyerahkan sepenuhnya kepada tim kuasa hukum yang dibantu oleh Divisi Hukum
Mabes Polri.
“Yang
mengajukan permohonan gugatan praperadilan adalah Komjen Pol Budi Gunawan yang
telah memberikan kuasa kepada tim kuasa hukumnya. Tim kuasa hukum dibantu dari
Divkum Polri,” jelas Ronny lewat pesan singkat yang diterima wartawan, Rabu
(21/1/2015) (okezone.com).
Selain
itu Budi Gunawan, melalui kuasa hukumnya, Razman Arif Nasution, juga
melaporkan pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Di Kejaksaan
Agung, dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dilaporkan karena
dianggap telah menyalahgunakan wewenangnya dengan menetapkannya sebagai
tersangka (21/01/2015), sedangkan ke Mabes Polri, pimpinan KPK dilaporkan
karena dinilai telah melampui wewenangnya dengan penetapan status Budi
tersebut, juga dipersoalkan tindakan KPK yang mengumumkan ke publik tentang
pemblokiran rekening bank milik Budi Gunawan.
Berita
terkini baru saja dikabarkan, pagi ini, Jumat, 23 Januari 2015, Wakil
Ketua KPK Bambang Widjajanto telah ditangkap pihak Bareskrim Mabes Polri, saat
sedang mengantar anaknya ke sekolah, di wilayah Depok, Jawa Barat. Tetapi, ketika
Deputi Bidang Pencegahan Korupsi dari KPK Johan Budi dikonfirmasi ke Plt
Kapolri Badrodin Haiti, hal tersebut disangkal. Tapi, kemudian, menurut
penjelasan dari Kadishumas Mabes Polri Irjen (Pol) Ronny Sompie,
membenarkan penangkapan tersebut. Alasan penangkapan adalah Bambang disangka
telah memberi kesaksian palsu atas kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat,
yang juga melibatkan Akil Mochtar.
Dengan demikian, mulai dibukalah
episode baru pertarungan “cicak vs buaya” jilid ke-3. Kali ini, bahkan jauh
lebih panas daripada jilid 1 dan 2, karena Polri sudah menangkap orang KPK,
yang ditangkap pun bukan main-main, salah seorang pimpinan KPK!
“Cicak
vs buaya” jilid 3 ini berbeda dengan jilid 1 dan 2.
Di
jilid 1 dan 2, perseteruan KPK dengan Polri itu murni berawal dari
langkah-langkah mereka sendiri satu terhadap yang lain, dan setelah berlangsung
relatif cukup lama perseteruan itu, barulah Presiden ketika itu, SBY, turun
tangan sebagai “wasit” untuk menyelesaikan kedua episode perseteruan “cicak vs
buaya” itu.
“Cicak
vs Buaya” Jilid 1: SBY Jadi Wasit
Di
jilid 1 perseteruan “cicak vs buaya” berawal dari tindakan penyidikan
(penyadapan) KPK terhadap Kabareskrim Polri saat itu (2008), Komisaris Jenderal
Susno Duadji, yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi
Sampoerna, karena berhasil “memaksa” Bank Century mencairkan dana nasabah itu
sebelum bank itu ditutup.
Dalam
wawancara Tempo dengan Susno Duadji yang dimuat di Majalah Tempo
edisi 6-12 Juli 2009, Susno menggoblok-goblokkan KPK yang dinilainya bodoh
karena berani dengan Polri, khususnya dengan Kabareskrim (dia sendiri).
Padahal, menurutnya, dia tidak bersalah. Dari sinilah muncul istilah
Susno, “cicak” melawan “buaya,” yang kemudian sangat populer itu.
“Kalau
orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim)
memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok.
Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok
dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak
kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya
masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak
pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak
akan dapat apa-apa.”
Tak
lama setelah itu (2009), Polri melakukan “serangan balik” kepada KPK, dengan
gebrakan mereka mengkriminalisasi KPK.
Berdasarkan
kesaksian dari Anggodo Widjojo (dalam kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi
Radio Terpadu) bahwa kakaknya Anggoro Widjojo telah menyuap dua pimpinan KPK
waktu itu, Chandra M Hamzah dan Bibid Waluyo, sejumlah Rp 6 miliar, Polri
menetapkan dua pimpinan KPK itu sebagai tersangka, bahkan sempat menahan mereka
berdua. Meskipun bukti-buktinya masih sangat lemah.
Perseteruan
KPK vs Polri itu, memaksa Presiden SBY, akhirnya turun tangan sebagai
“wasit”, dengan membentuk sebuah tim independen pencari fakta yang disebut Tim
Delapan, yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasutiion. Rekomendasi Tim 8
kepada Presiden SBY adalah Presiden menggunakan hak abolisinya untuk
memerintahkan penghentian pemeriksaan terhadap kasus itu. Tetapi, SBY justru
mengembalikannya kepada Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus perseteruan
KPK vs Polri itu.
Ujung
dari kasus ini: atas perintah Presiden SBY, Jaksa Agung akhirnya
menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntuntan untuk Chandra M Hamzah dan
Bibid Waluyo.
“Cicak
vs Buaya” Jilid 2: SBY Jadi Wasit
Pada
Juli 2012, perseteruan KPK vs Polri kembali terbuka, setelah KPK menetapkan
mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai
tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM.. Padahal,
sebelumnya, Mabes Polri telah menyatakan, setelah melakukan investigasi
penyidikan internal, tak ditemukan unsur korupsi di proyek tersebut, yang
melibatkan Djoko Susilo.
Begitu
KPK mengumumkan Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka, terjadilah rentetan
kejanggalan yang dilakukan oleh Polri. Tiba-tiba mereka mengumumkan bahwa
mereka juga sebenarnya sedang menyidik kasus korupsi yang sama. Berbareng dengan
itu mengumumkan lima tersangka versi mereka. Padahal, sebelumnya, berkaitan
dengan laporan investigasi Majalah Tempo (edisi 23-29 April 2012: “Sim
Salabim Simulator SIM”) tentang dugaan korupsi pengadaan alat simulasi
mengemudi di Korlantas Polri, Mabes Polri telah mengirim hak jawabnya dan
dimuat di Majalah Tempo edisi berikutnya.
Surat
jawab yang ditulis oleh Kadiv Humas Mabes Polri saat itu, Irjen Pol. Saud Usman
Nasution membantah bahwa ada korupsi di proyek tersebut. Di dalam surat itu
antara lain disebutkan bahwa Tim Irwil V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes
Polri telah mengadakan audit investigasi. Hasilnya, tidak ada korupsi.
“Tidak ada bukti telah terjadi tindak pidana korupsi di Korps Lalu Lintas Polri
sebesar Rp 196 miliar terkait dengan pengadaan driving simulator roda dua dan
empat …,” demikian Mabes Polri mengawali hak jawabnya yang dimuat Tempo
itu.
Terjadilah
saling merebut kewenangan menyidik kasus korupsi tersebut. KPK merasa merekalah
yang paling berwenang menyidik kasus tersebut, demikian juga Polri.
Polri
bahkan sempat melakukan “serangan balik” juga kepada KPK. Upaya kriminalisasi
KPK pun kembali dilakukan.
Pada
5 Oktober 2012, sejumlah aparat kepolisian mengepung Gedung KPK untuk menangkap
salah satu penyidik KPK yang juga berasal dari Polri, Komisaris (Pol) Novel
Baswedan. Dia juga salah satu penyidik KPK yang berperan penting dalam
pengungkapan kasus Djoko Susilo itu. Polri beralasan hendak
menangkap Novel karena pada 2004, ketika bertugas di Bengkulu, dia pernah
melakukan penganiayaan berat terhadap beberapa tersangka pencuri sarang burung
walet di sana.
Kriminalisai
terhadap KPK itu pun kemudian terbukti merupakan hasil rekayasa, Polri sebagai
niat balas dendam mereka kepada KPK. Kejadian ini semakin memanas
perseteruan “cicak vs buaya” jilid 2 ini. Publik berseru-seru kepada Presiden
SBY untuk segera menjadi wasit lagi untuk menengahi kasus tersebut.
Setelah
cukup lama perseteruan tersebut dibiarkan terjadi oleh SBY, barulah dia turun
tangan menengahi perseteruan KPK vs Polri itu. Lagi-lagi, untuk kedua kali SBY
menjadi wasit perseteruan “cicak vs buaya” itu.
Pada
8 Oktober 2012, dalam pidato khususnya tentang perseteruan KPK vs Polri itu,
Presiden SBY menyatakan lima poin yang harus ditaati semua pihak, yaitu,
pertama, perkara dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan Irjen Pol Djoko
Susilo ditangani KPK, sedangkan Polri menangani kasus-kasus lain yang tidak
terkait langsung. Kedua, keinginan polisi melakukan hukum terhadap Komisaris
(Pol) Novel Baswedan tidak tepat dari segi waktu dan cara. Ketiga, pemerintah
akan membuat aturan baru tentang penempatan penyidik Polri di KPK. Keempat,
revisi UU yang memperlemah KPK tidak tepat. Kelima, Polri, KPK, dan Kejaksaan
Agung diharapkan memperbarui nota kesepahaman yang pernah dibuat.
Berakhirlah
kisah “cicak vs buaya” jilid 2 sampai di situ.
Djoko
Susilo, akhirnya diproses hukum KPK. Dia kemudian terbukti bersalah, sampai di
tingkat Kasasi Mahkamah Agung, dengan dihukum penjara selama 18 tahun.
“Cicak
vs Buaya” Jilid 3: Jokowi Tak Mungkin Menjadi Wasit
Dari
dua episode “cicak vs buaya” itu, kelihatanlah bahwa perseteruan KPK vs Polri
berawal dari langkah-langkah mereka sendiri satu terhadap yang lain. Sedangkan
Presiden SBY berperan penting sebagai wasitnya, yang akhirnya berhasil
mendamaikan mereka.
Sedangkan
di “cicak vs buaya” jilid 3 ini, justru Presiden Jokowi-lah, yang menjadi biang
kerok perseteruan KPK vs Polri, alias “cicak vs buaya” babak baru ini (baca: Jokowi-lah
yang Membuat KPK Mempercepat Status Tahanan Budi Gunawan).
Karena
menjadi biang kerok itulah, membuat posisi Jokowi berada di kubu Polri,
bersama-sama mereka melawan KPK. Tidak mungkin Presiden Jokowi bisa
berperan menjadi wasit, tidak mungkin Jokowi menjadi penengahnya seperti
SBY, karena dia berada pada salah satu pihak yang berseteru itu, yakni Polri.
Belum
cukup sampai di situ, partainya Jokowi, PDI-P pun ikut-ikutan secara terbuka
menyatakan “perang” terhadap KPK, masih terkait kasus Budi Gunawan.
Jika
di jilid 1 dan 2 kisah “cicak vs buaya” Polri jugalah yang berupaya melakukan
kriminalisasi terhadap KPK, maka di jilid 3 ini justru kubu Jokowi-lah yang
sedang berupaya melakukan serangan balik kepada KPK dengan upaya
kriminalisainya kepada KPK.
Kamis,
22 Januari 2015, pelaksana tugas (plt) Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto
Kristianto, mengadakan konferensi pers, menuding penetapan Budi sebagai
tersangka oleh KPK itu terkait erat dengan lobi-lobi Ketua KPK Abraham Samad
kepada para petinggi PDI-P, termasuk dirinya sendiri, agar dijadikan calon
wakil presiden mendampingi Jokowi di Pilpres 2014 tempo hari. Lobi-lobi Abraham
itu, menurut Hasto, gagal. PDI-P memilih Jusuf Kalla sebagai pasangan Jokowi.
Dari situlah dendan kesumat Abraham dicetuskan, apalagi katanya Budi Gunawan
yang menggagalkan PDI-P memilih Jokowi sebagai pendamping Jokowi.
Konferensi
pers Hasto itu berawal dari sebuah artikel di Kompasiana, yang berjudul Rumah
Kaca Abraham Samad. Hasto membenarkan semua yang ditulis di artikel
tersebut, yang sekaligus membuat kita patut sangat curiga bahwa jangan-jangan
dia sendirilah penulisnya, atau pastilah penulisnya orang dalam PDI-P sendiri,
karena bagaimana mungkin penulisnya yang menggunakan nama samaran Sawito
Kartowibowo, bisa mengetahui semua detail pertemuan rahasia itu.
Ini
jelas, merupakan tudingan yang paling serius kepada Ketua KPK. Dan, semakin
merusak hubungan antara kubu Presiden Jokowi dengan KPK.
Sampai
sejauh ini PDI-P belum beraksi terhadap tudingan Hasto Kristianto kepada Ketua
KPK Abraham Samad itu. Jadi, apakah ini sama saja dengan PDI-P mendukung sikap
Hasto itu? Jadi, apakah kubu Jokowi kini memlih frontal melawan KPK,
bergandengan dengan Polri? Jadi, pada episode ketiga ini, bukan hanya melawan
“buaya”, “cicak” juga harus berhadapan dengan “banteng”?
Pihak
Istana sendiri, secara tak langsung sebenarnya sudah mementahkan tudingan Hasto
tersebut.
Sekretaris
Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, “Setahu saya (pertemuan) itu tidak
dimungkinkan.” Karena, menurutnya, sebagai Ketua KPK, Abraham tidak mungkin
bergerak sendirian, tanpa pengawal KPK. Selama ini, dalam setiap pertemuan
dengan Ketua KPK, kata Andi, selalu di acara-acara resmi, yang ada staf KPK-nya
(Harian Jawa Pos, Jumat, 23/01/2015).
Andi
adalah satu satu sosok penting yang terlibat sejak awal pencalonan Jokowi
sebagai presiden di Pilpres 2014 lalu. Saat itu dia masih berstatus akademisi,
dan merupakan salah satu anggota dari tim sebelas. Tim tersebut beranggota
politisi PDI-P dan sejumlah pakar. Mereka ditugaskan Megawati untuk memberi
masukan kepada Jokowi dalam mencari calon wakin presidennya yang ideal. Hasto
juga termasuk di dalam tim sebelas itu.
“Jadi,
kami (tim sebelas dan Abraham Samad) tidak bisa bertemu atau wawancara dengan
Abraham Samad. Yang bisa kami lakukan hanya (mengolah) data-data publik yang
tersedia, terang Andi, Kamis, 22 Januari 2015 (Harian Jawa Pos).
Sedangkan
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, yang sampai saat Pilpres 2014 adalah Sekjen
PDI-P juga mengaku tidak pernah melakukan dan tidak pernah tahu ada pertemuan
rahasia dengan Abraham Samad dalam rangka penentuan salon wakil presiden utnuk
mendampingi Jokowi itu. “Kalau ketemu beliau, ya, di acara resmi. Ada
staf KPK-nya, tutur Tjahjo di Istana Bogor, Kamis, 22 Januari 2015.
Jadi,
apakah mungkin pertemuan rahasia itu dilakukan diam-diam oleh Hasto sendiri
bersama dengan beberapa petingi lain PDI-P lainnya?
Hasto
harus bisa membuktikan semua tudingannya itu, karena jika benar tudingan
tersebut, hal itu tersebut tidak hanya merupakan suatu pelanggaran disiplin
Ketua KPK, tetapi sudah merupakan suatu kejahatan yang sangat besar. Seorang
Ketua KPK memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan politiknya, dan melakukan
barter politik dengan kasus hukum yang sedang ditangani KPK.
Konyolnya
dari tudingan Hasto itu; jika tudingan itu pun benar, maka dengan sendirinya
kejahatan besar itu melibatkan juga para petinggi PDI-P, termasuk Hasto, bahkan
bisa menyeret pula Ketua Umum PDI-P, PDI-P secara kelembagaan, dan tak tertutup
kemungkinan Jokowi sendiri. Karena mereka semua patut diduga terlibat dalam
transaksi kejahatan politik dan hukum yang berujung kegagalan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar