Kalau Anda sedang membutuhkan sebuah rumah dan
mencari informasinya di internet, Anda akan menemukan istilah ini: “bebas
banjir”. Atribut ini merupakan jaminan bahwa rumah yang ditawarkan tidak akan
kedatangan tamu rutin yang menjengkelkan itu.
Memang, untuk sebuah
rumah atau sebuah kompleks perumahan sangat mungkin kondisi bebas banjir itu
diraih. Tapi, mungkinkah kondisi itu untuk skala kota, yang selama ini sudah
menjadi langganan banjir? Seperti Jakarta, Semarang, Gorontalo, Manado, Padang
dan banyak lagi kota lainnya di Indonesia? Jawabannya hanya tiga: “Sangat tidak
mungkin. Mustahil!” atau “Mungkin saja terjadi, asal…..” Dan jawaban ketiga:
“Tidak tahu.”
Blog ini dimaksudkan
untuk membangun wacana, dan terutama mendorong aksi, bahwa sesungguhnya sangat
mungkin kondisi bebas banjir (yang menyengsarakan) itu dicapai.
Istilah Banjir
Berkaitan dengan
banjir, terdapat banyak istilah yang kerapkali digunakan baik dalam komunikasi
verbal sehari-hari maupun di media masa. Istilah-istilah itu antara lain
penanganan banjir, pengendalian banjir, pencegahan banjir, penanggulangan
banjir, mitigasi banjir dan sebagainya.
Dengan mengacu pada Isnugroho (2002),
dibedakan dua istilah yaitu penanggulangan banjir dan pengendalian
banjir. Penanggulangan banjir adalah kegiatan yang dilaksanakan selama banjir
sedang berlangsung dan sesudah banjir berlalu. Sedangkan pengendalian banjir
adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengupayakan agar tidak terjadi banjir.
Berkaitan dengan
pengendalian banjir terdapat dua kegiatan pokok. Pertama, kegiatan yang
ditujukan untuk mengurangi volume air yang masuk dan melewati sungai. Kedua,
kegiatan yang ditujukan untuk memperbesar daya tampung (kapasitas alur sungai).
Secara umum,
setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan pengendalian banjir selama ini
gagal. Pertama, tidak terintegrasinya pendekatan biofisik dan
pendekatan institusi dalam berbagai program penanganan banjir.Kedua,
meski peran masyarakat dianggap penting, namun dalam implementasinya peran
serta masyarakat, secara tidak disadari, kerap masih dianggap sebagai
non-faktor.
Karena itu, solusi
penanganan banjir ke depan harus mengintegrasikan aspek biofisik dan aspek
institusi, dan menempatkan masyarakat sebagai faktor utama dalam proses
pengendalian banjir.
Pengertian institusi
di sini mengacu pada pengertian yang dikemukakan oleh North (1990) dan Rodgers
(1994)dalam Nugroho (2006), dimana institusi diartikan sebagai
aturan main, norma-norma, larangan-larangan dalam mengatur dan mengendalikan
perilaku dalam masyarakat atau organisasi
Tulisan ini lebih
banyak difokuskan pada ikhtiar untuk pengendalian banjir yang ditujukan untuk
mengurangi volume air yang melewati sungai melalui aktifitas yang
mengintegrasikan pendekatan biofisik dan institusi.
Tiga perspektif.
Melalui pendekatan
pengelolaan DAS (daerah aliran sungai), persoalan banjir setidaknya dapat
diterangkan dengan tiga perspektif.
Pertama,
banjir sebagai fenomena debit puncak (peak discharge).
Banjir terjadi karena debit puncak tidak dapat ditampung oleh dimensi sungai /
saluran. Jika DAS dipahami sebagai sebuah hamparan wilayah, dimana hujan yang
jatuh di hamparan wilayah itu akan menuju ke sungai yang sama, maka debit
puncak merupakan akumulasi dari debit run off (limpasan permukaan) yang berasal
dari tiap persil lahan di DAS yang bersangkutan.
Keberadaan persil
lahan, yang melekat hak kepemilikan (property right)
di dalamnya, memperoleh penekanan di sini. Persil lahan dapat berupa persil
hutan, persil perkebunan, tanaman pangan, permukiman, industri, lahan basah,
semak, dan sebagainya. Kepemilikan dapat berupa pemilikan oleh negara (state property), individu atau badan hukum swasta (private property), dan pemilikan bersama (common property), serta persil-persil yang secara de facto dapat
dikategorikan open
access.
Banjir
di Jakarta Tahun 2005. Sumber: Kompas
Dari perspektif ini,
maka jika kita ingin mengendalikan banjir, maka setiap warga DAS, yaitu individu
atau badan hukum yang menguasai persil lahan di DAS itu, harus ikut serta
menurunkan debit limpasan yang keluar dari persil lahannya masing-masing.
Kedua,
banjir sebagai akibat meningkatnya koefisien limpasan DAS, yaitu nisbah antara
banyaknya air hujan yang menjadi limpasan permukaan dengan banyaknya air hujan
yang jatuh di DAS yang bersangkutan. Setiap jenis penggunaan tanah memiliki
koefisien limpasan yang berbeda. Koefisien limpasan suatu DAS merupakan
rata-rata tertimbang dari koefisien limpasan masing-masing persil lahan. Jadi,
jika kita ingin mengendalikan banjir (mengurangi koefisien limpasan DAS), maka
setiap warga DAS harus berpartisipasi untuk menurunkan koefisien limpasan pada
persil lahannya masing-masing.
Ketiga, banjir sebagai
produk dari eksternalitas hidrologi yang negatif. Debit limpasan yang keluar
dari setiap persil lahan, yang kemudian menyebabkan banjir, merupakan
eksternalitas hidrologi yang negatif dari persil lahan itu. Setiap warga DAS
berpotensi menjadi produsen eksternalitas hidrologi yang negatif, dimana biaya
eksternalitasnya ditanggung oleh warga di hilir dalam bentuk banjir. Dari
perspektif ini, maka banjir dapat dikendalikan jika setiap warga DAS melakukan
upaya internalisasi.
Ketiga perspektif
tersebut pada dasarnya menerangkan hal yang sama, bahwa untuk mengendalikan
banjir di suatu wilayah DAS, maka setiap warga DAS, yaitu individu atau badan
hukum yang menguasai persil lahan di wilayah DAS yang bersangkutan, harus
melakukan ”sesuatu” yaitu mengadakan atau membangun sistem genangan dan atau
sistem resapan di persil lahannya masing-masing.
Setidaknya terdapat
dua rumpun teknologi untuk membangun sistem genangan atau sistem resapan di
setiap persil. Pertama, rumpun teknologi konservasi tanah dan air. Dan kedua,
rumpun teknologi pemanenan air hujan (rain water harvesting). Rumpun teknologi yang terakhir ini terutama
dikembangkan di wilayah dengan curah hujan (CH) rendah (dibawah 1000 mm per
tahun). Namun dengan berbagai kejadian kekeringan yang cenderung makin panjang
akibat perubahan iklim global, teknologi pemanenan air hujan ini tampaknya
harus mulai diperkenalkan di DAS yang memiliki CH tahunan yang relatif tinggi
sekalipun.
Dua pendekatan terhadap perilaku
Dari pembahasan di
atas, maka pengendalian banjir terutama berkaitan dengan perilaku warga DAS.
Yaitu, bagaimana agar setiap warga DAS mau membangun sistem genangan dan atau
sistem resapan (dengan teknologi konservasi tanah dan air atau teknologi
pemanenan air hujan) di persil lahannya masing-masing.
Setidaknya terdapat
dua pendekatan untuk memahami aspek perilaku ini, yaitu pendekatan normatif (normative approach) dan pendekatan pilihan rasional (rational choice approach). Menurut pendekatan normatif, seorang individu atau
sebuah kelompok akan berperilaku tertentu karena didorong oleh apa yang disebut
sebagai logika kepatutan (logic
of approriateness). Logika ini sendiri merupakan hasil
dari pemahaman kognitif dan proses internalisasi yang memakan waktu yang
relatif lama.
Sedangkan menurut
pendekatan pilihan rasional, perilaku individu atau kelompok merupakan respon
terhadap aturan main (rules) atau insentif (incentives)
yang ada. Aturan main ini dapat berupa aturan formal (formal rules) seperti peraturan perundang-undangan maupun aturan
non formal (non-formal
rules), misalnya kesepakatan-kesepakatan
warga.
Di masyarakat sendiri,
ada aturan yang tertulis (written
rules) dan ada yang tidak tertulis (unwritten rules). Disamping itu ada aturan-aturan yang ditaati /
diikuti (working
rules) dan terdapat pula aturan-aturan yang
tidak ditaati (non-working
rules).
Dalam kehidupan
sehari-hari berkaitan dengan sumber daya alam, sering kali terdapat aturan yang
bersifat formal dan tertulis tapi tidak ditaati atau tidak dapat ditegakan.
Tidak tegaknya aturan itu antara lain berkaitan dengan kekurangan biaya untuk
menegakannya (enforcement
cost) atau berkaitan dengan kapasitas si
penegak aturan.
Berbagai pelanggaran
tata ruang, yang kerap ditengarai sebagai penyebab banjir, atau okupasi lahan
sempadan sungai, dapat diterangkan dengan pendekatan ini. Sedangkan pada
masyarakat adat yang memiliki berbagai bentuk kearifan lokal, aturan (rules)
yang ada bersifat tidak formal (bukan produk negara), dan bahkan tidak
tertulis, tapi justru ditaati.
Sedangkan insentif
yang mempengaruhi perilaku dapat beragam mulai dari yang kasat mata, bersifat
langsung dan bernilai ekonomi maupun yang tidak kasat mata, tidak
langsung, dan bersifat non ekonomi.
Dari perspektif kedua
pendekatan ini, maka membangun perilaku warga DAS dapat dilakukan dengan berupaya
membangun perilaku yang berbasis logika kepatutan, serta membangun aturan dan
insentif yang sesuai.
Upaya untuk membangun
tindakan berbasis logika kepatutan dapat dilakukan melalui berbagai jenjang
pendidikan, serta pendidikan non formal dan informal di masyarakat, serta
berbagai bentuk kampanye publik.
Sedangkan yang
berkaitan dengan aturan, maka yang justru perlu dibangun adalah bagaimana
masyarakat lokal membuat aturan-aturan yang merupakan kesepakatan mereka
sendiri di tingkat lokal (non-formal rules), dimana mereka sendiri yang
menegakkan aturan-aturan itu. Peran pihak luar adalah sebagai fasilitator bagi
masyarakat untuk membangun kesepakatan-kesepakatan itu serta menfasilitasi
perealisasiannya.
Lalu, yang berkaitan
dengan insentif, mekanisme imbal jasa hulu hilir serta insentif dalam bentuk
tidak kasat mata, seperti aktivitas kerelawanan dan pahala yang dijanjikan
setiap agama, dapat digunakan untuk membangun perilaku yang diinginkan dari
setiap warga DAS.
Aksi Kolektif Lokal
Aspek penting lain
yang kerap kali dilupakan berkaitan dengan pengendalian banjir adalah keharusan
untuk adanya aksi kolektif (collective
action). Meski tiap individu perlu melakukan
”sesuatu” di persilnya masing-masing, namun aksi individu, bagaimana pun
optimalnya, tidak akan pernah efektif untuk menangani sumber daya alam yang
memiliki karakteristik public
good, seperti air hujan dan air limpasan
permukaan.
Aksi
Kolektif Evakuasi Korban Banjir. Sumber: Kompas
Selain itu, meski
terdapat beragam aturan (formal
rules) yang mengharuskan individu untuk
melakukan ”sesuatu” di persilnya masing-masing, seperti aturan tentang sumur
resapan, aturan tentang KDB (koefisien dasar bangunan), dan aturan sempadan
sungai, serta aturan tentang keharusan untuk melestarikan lahan pertaniannya,
namun aturan-aturan itu dalam kenyataannya tidak bisa ditegakan.
Beberapa riset aksi
menemukan bahwa ketika aturan formal sulit ditegakkan karena berbagai sebab,
maka yang perlu diintrodusir adalah pengembangan kesepakatan-kesepakatan di
tingkat lokal dalam bentuk aksi kolektif. Hal ini identik dengan membangun
modal sosial warga.
Pertanyaannya adalah,
pada level mana aksi kolektif dilakukan? Dalam berbagai referensi, aksi
kolektif sebaiknya dilakukan pada level dimana komunitas itu memiliki tingkat
kohesivitas sosial yang tinggi, atau memiliki pengalaman bekerjasama di masa
lalu. Itu artinya, pengendalian banjir dapat terjadi jika terdapat aksi
kolektif di tingkat lokal di seluruh wilayah DAS. Think globally, act locally.
Disain kelembagaan
Dari paparan di atas,
maka dapat diajukan sebuah kerangka disain kelembagaan untuk pengendalian
banjir di suatu DAS.
Pertama,
sosialisasi penambahan atribut kewargaan DAS. Karena setiap warga pasti tinggal
di satu DAS, maka setiap warga harus mengetahui ia merupakan bagian dari DAS
apa. Hal ini penting, karena apa yang dilakukan di persil lahannya secara
kolektif akan mempengaruhi perilaku hidrologi DAS yang bersangkutan.
Kedua,
fasilitasi aksi kolektif warga DAS. Pelaksanaan aktivitas ini disarankan pada
level desa / kelurahan. Itu artinya, di tiap desa / kelurahan perlu
difasilitasi terbentuknya semacam organisasi stakeholders lokal, misalnya Komite DAS Ciliwung Kelurahan X, yang
akan mengkoordinir aksi kolektif warga di tingkat lokal.
Ketiga,
fasilitasi pelatihan dan penyusunan rencana bagi Komite DAS di tiap desa /
kelurahan agar mereka mampu membuat rencana untuk menurunkan koefisien limpasan
di desa / kelurahan masing-masing. Aktivitas fasilitasi ini juga untuk
memastikan agar rencana dari masing-masing Komite DAS di tiap kelurahan itu
sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Prinsip dalam penyusunan dokumen rencana
ini adalah memulai dari apa yang dipahami (teknologi yang dikuasai) oleh
masyarakat.
Keempat,
fasilitasi implementasi rencana Komite DAS. Prinsip untuk implementasi ini
adalah membangun keberhasilan-keberhasilan kecil, mulai dari penerapan
teknologi yang sederhana dan murah, seperti penerapan teknologi Lubang Resapan
Biopori (LRB) atau pembibitan tanaman penghijauan, menuju ke teknologi yang
lebih rumit dan membutuhkan biaya lebih besar. Untuk aktivitas ini, maka kerja
sama berbagai pihak: pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan swasta, menjadi
penting.
Kelima,
memperkenalkan konsep relawan DAS. Peran lain Komite DAS di tiap desa /
kelurahan adalah mengajak setiap warga DAS di desa / kelurahan yang
bersangkutan yang peduli, mulai dari anak sekolah sampai orang dewasa, untuk
menjadi relawan DAS. Tugas mereka adalah mengimplementasikan rencana yang telah
dibuat. Penggunaan atribut-atribut relawan bekerjasama dengan pihak sponsor
swasta dapat dipertimbangkan.
Keenam,
memfasilitasi terbangunnya jaringan antar sesama Komite DAS Desa / Kelurahan,
serta jaringan antara Komite-Komite DAS dengan institusi-institusi pemerintah,
perguruan tinggi, LSM, dan dunia usaha.
Tugas pemerintah dalam
disain kelembagaan seperti ini adalah menfasilitasi terbentuknya Forum DAS di
tiap-tiap DAS, dimana Forum DAS ini nantinya akan bertugas menfasilitasi
terbentuknya Komite DAS di tiap desa / kelurahan di DAS yang bersangkutan.
Disain kelembagaan
yang polisentris seperti ini diharapkan dapat menjadi alternatif terhadap
rendahnya kinerja pemerintah (di berbagai level) dalam pengendalian banjir di
Indonesia selama ini.
Dan, jika disain
kelembagaan seperti ini diterapkan secara konsisten, maka bebas banjir bukanlah
sesuatu yang mustahil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar