Jumat, 06 Februari 2015

Polri VS KPK, akankah terulang kembali !!!

Perbedaan “Cicak vs Buaya” Jilid 3 dengan Jilid 1 dan 2
 14219841151687373814
Dengan dibantu oleh Divisi Hukum Mabes Polri, Rabu, 21 Januari 2014, secara resmi Komisaris Jenderal Budi Gunawan mengajukan permohonan praperadilan terhadap KPK, karena telah menetapkanya sebagai tersangka kasus korupsi (gratifikasi).
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Ronny F Sompie mengatakan, Budi Gunawan, telah menyerahkan sepenuhnya kepada tim kuasa hukum yang dibantu oleh Divisi Hukum Mabes Polri.
“Yang mengajukan permohonan gugatan praperadilan adalah Komjen Pol Budi Gunawan yang telah memberikan kuasa kepada tim kuasa hukumnya. Tim kuasa hukum dibantu dari Divkum Polri,” jelas Ronny lewat pesan singkat yang diterima wartawan, Rabu (21/1/2015) (okezone.com).
Selain itu Budi Gunawan, melalui kuasa hukumnya, Razman Arif Nasution,  juga melaporkan  pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Di Kejaksaan Agung, dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dilaporkan karena dianggap telah menyalahgunakan wewenangnya dengan menetapkannya sebagai tersangka (21/01/2015), sedangkan ke Mabes Polri, pimpinan KPK dilaporkan karena dinilai telah melampui wewenangnya dengan penetapan status Budi tersebut, juga dipersoalkan tindakan KPK yang mengumumkan ke publik tentang pemblokiran rekening bank milik Budi Gunawan.
Berita terkini baru saja dikabarkan,  pagi ini, Jumat, 23 Januari 2015, Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto telah ditangkap pihak Bareskrim Mabes Polri, saat sedang mengantar anaknya ke sekolah, di wilayah Depok, Jawa Barat. Tetapi, ketika Deputi Bidang Pencegahan Korupsi dari KPK Johan Budi dikonfirmasi ke Plt Kapolri Badrodin Haiti, hal tersebut disangkal. Tapi, kemudian, menurut penjelasan dari  Kadishumas Mabes Polri Irjen (Pol) Ronny Sompie, membenarkan penangkapan tersebut. Alasan penangkapan adalah Bambang disangka telah memberi kesaksian palsu atas kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, yang juga melibatkan Akil Mochtar.
Dengan demikian, mulai dibukalah episode baru pertarungan “cicak vs buaya” jilid ke-3. Kali ini, bahkan jauh lebih panas daripada jilid 1 dan 2, karena Polri sudah menangkap orang KPK, yang ditangkap pun bukan main-main, salah seorang pimpinan KPK!
“Cicak vs buaya” jilid 3 ini berbeda dengan jilid 1 dan 2.
Di jilid 1 dan 2, perseteruan KPK dengan Polri itu murni berawal dari langkah-langkah mereka sendiri satu terhadap yang lain, dan setelah berlangsung relatif cukup lama perseteruan itu, barulah Presiden ketika itu, SBY, turun tangan sebagai “wasit” untuk menyelesaikan kedua episode perseteruan “cicak vs buaya” itu.
“Cicak vs Buaya” Jilid 1: SBY Jadi Wasit
Di jilid 1 perseteruan “cicak vs buaya” berawal dari tindakan penyidikan (penyadapan) KPK terhadap Kabareskrim Polri saat itu (2008), Komisaris Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna, karena berhasil “memaksa” Bank Century mencairkan dana nasabah itu sebelum bank itu ditutup.
Dalam wawancara Tempo dengan Susno Duadji yang dimuat di Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2009, Susno menggoblok-goblokkan KPK yang dinilainya bodoh karena berani dengan Polri, khususnya dengan Kabareskrim (dia sendiri). Padahal, menurutnya, dia tidak bersalah. Dari sinilah muncul istilah Susno,  “cicak” melawan “buaya,” yang kemudian sangat populer itu.
“Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.”
Tak lama setelah itu (2009), Polri melakukan “serangan balik” kepada KPK, dengan gebrakan mereka mengkriminalisasi KPK.
Berdasarkan kesaksian dari Anggodo Widjojo (dalam kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu) bahwa kakaknya Anggoro Widjojo telah menyuap dua pimpinan KPK waktu itu,  Chandra M Hamzah dan Bibid Waluyo, sejumlah Rp 6 miliar, Polri menetapkan dua pimpinan KPK itu sebagai tersangka, bahkan sempat menahan mereka berdua. Meskipun bukti-buktinya masih sangat lemah.
Perseteruan KPK vs Polri itu, memaksa Presiden SBY,  akhirnya turun tangan sebagai “wasit”, dengan membentuk sebuah tim independen pencari fakta yang disebut Tim Delapan, yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasutiion.  Rekomendasi Tim 8 kepada Presiden SBY adalah Presiden menggunakan hak abolisinya untuk memerintahkan penghentian pemeriksaan terhadap kasus itu. Tetapi, SBY justru mengembalikannya kepada Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus perseteruan KPK vs Polri itu.
Ujung dari kasus ini: atas perintah Presiden SBY, Jaksa Agung  akhirnya menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntuntan untuk Chandra M Hamzah dan Bibid Waluyo.
Cicak vs Buaya” Jilid 2: SBY Jadi Wasit
Pada Juli 2012, perseteruan KPK vs Polri kembali terbuka, setelah KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri  Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM..  Padahal, sebelumnya, Mabes Polri telah menyatakan, setelah melakukan investigasi penyidikan internal, tak ditemukan unsur korupsi di proyek tersebut, yang melibatkan Djoko Susilo.
Begitu KPK mengumumkan Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka, terjadilah rentetan kejanggalan yang dilakukan oleh Polri. Tiba-tiba mereka mengumumkan bahwa mereka juga sebenarnya sedang menyidik kasus korupsi yang sama. Berbareng dengan itu mengumumkan lima tersangka versi mereka. Padahal, sebelumnya, berkaitan dengan laporan investigasi Majalah Tempo (edisi 23-29 April 2012: “Sim Salabim Simulator SIM”) tentang dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri, Mabes Polri telah mengirim hak jawabnya dan dimuat di Majalah Tempo edisi berikutnya.
Surat jawab yang ditulis oleh Kadiv Humas Mabes Polri saat itu, Irjen Pol. Saud Usman Nasution membantah bahwa ada korupsi di proyek tersebut. Di dalam surat itu antara lain disebutkan bahwa Tim Irwil V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri telah mengadakan audit investigasi. Hasilnya, tidak ada korupsi.  “Tidak ada bukti telah terjadi tindak pidana korupsi di Korps Lalu Lintas Polri sebesar Rp 196 miliar terkait dengan pengadaan driving simulator roda dua dan empat …,” demikian Mabes Polri mengawali hak jawabnya yang dimuat Tempo itu.
Terjadilah saling merebut kewenangan menyidik kasus korupsi tersebut. KPK merasa merekalah yang paling berwenang menyidik kasus tersebut, demikian juga Polri.
Polri bahkan sempat melakukan “serangan balik” juga kepada KPK. Upaya kriminalisasi KPK pun kembali dilakukan.
Pada 5 Oktober 2012, sejumlah aparat kepolisian mengepung Gedung KPK untuk menangkap salah satu penyidik KPK yang juga berasal dari Polri, Komisaris (Pol) Novel Baswedan. Dia juga salah satu penyidik KPK yang berperan penting dalam pengungkapan kasus Djoko Susilo itu.  Polri beralasan hendak  menangkap Novel karena pada 2004, ketika bertugas di Bengkulu, dia pernah melakukan penganiayaan berat terhadap beberapa tersangka pencuri sarang burung walet di sana.
Kriminalisai terhadap KPK itu pun kemudian terbukti merupakan hasil rekayasa, Polri sebagai niat  balas dendam mereka kepada KPK. Kejadian ini semakin memanas perseteruan “cicak vs buaya” jilid 2 ini. Publik berseru-seru kepada Presiden SBY untuk segera menjadi wasit lagi untuk menengahi kasus tersebut.
Setelah cukup lama perseteruan tersebut dibiarkan terjadi oleh SBY, barulah dia turun tangan menengahi perseteruan KPK vs Polri itu. Lagi-lagi, untuk kedua kali SBY menjadi wasit perseteruan “cicak vs buaya” itu.
Pada 8 Oktober 2012, dalam pidato khususnya tentang perseteruan KPK vs Polri itu, Presiden SBY menyatakan lima poin yang harus ditaati semua pihak, yaitu, pertama, perkara dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan Irjen Pol Djoko Susilo ditangani KPK, sedangkan Polri menangani kasus-kasus lain yang tidak terkait langsung. Kedua, keinginan polisi melakukan hukum terhadap Komisaris (Pol) Novel Baswedan tidak tepat dari segi waktu dan cara. Ketiga, pemerintah akan membuat aturan baru tentang penempatan penyidik Polri di KPK. Keempat, revisi UU yang memperlemah KPK tidak tepat. Kelima, Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung diharapkan memperbarui nota kesepahaman yang pernah dibuat.
Berakhirlah kisah “cicak vs buaya” jilid 2 sampai di situ.
Djoko Susilo, akhirnya diproses hukum KPK. Dia kemudian terbukti bersalah, sampai di tingkat Kasasi Mahkamah Agung, dengan dihukum penjara selama 18 tahun.
“Cicak vs Buaya” Jilid 3: Jokowi Tak Mungkin Menjadi Wasit
Dari dua episode “cicak vs buaya” itu, kelihatanlah bahwa perseteruan KPK vs Polri berawal dari langkah-langkah mereka sendiri satu terhadap yang lain. Sedangkan Presiden SBY berperan penting sebagai wasitnya, yang akhirnya berhasil mendamaikan mereka.
Sedangkan di “cicak vs buaya” jilid 3 ini, justru Presiden Jokowi-lah, yang menjadi biang kerok perseteruan KPK vs Polri, alias “cicak vs buaya” babak baru ini (baca: Jokowi-lah yang Membuat KPK Mempercepat Status Tahanan Budi Gunawan).
Karena menjadi biang kerok itulah, membuat posisi Jokowi berada di kubu Polri, bersama-sama mereka melawan KPK.  Tidak mungkin Presiden Jokowi bisa berperan menjadi wasit, tidak mungkin Jokowi menjadi penengahnya  seperti SBY, karena dia berada pada salah satu pihak yang berseteru itu, yakni Polri.
Belum cukup sampai di situ, partainya Jokowi, PDI-P pun ikut-ikutan secara terbuka menyatakan “perang” terhadap KPK, masih terkait kasus Budi Gunawan.
Jika di jilid 1 dan 2 kisah “cicak vs buaya” Polri jugalah yang berupaya melakukan kriminalisasi terhadap KPK, maka di jilid 3 ini justru kubu Jokowi-lah yang sedang berupaya melakukan serangan balik kepada KPK dengan upaya kriminalisainya kepada KPK.
Kamis, 22 Januari 2015, pelaksana tugas (plt) Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristianto, mengadakan konferensi pers, menuding penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK itu terkait erat dengan lobi-lobi Ketua KPK Abraham Samad kepada para petinggi PDI-P, termasuk dirinya sendiri, agar dijadikan calon wakil presiden mendampingi Jokowi di Pilpres 2014 tempo hari. Lobi-lobi Abraham itu, menurut Hasto, gagal. PDI-P memilih Jusuf Kalla sebagai pasangan Jokowi. Dari situlah dendan kesumat Abraham dicetuskan, apalagi katanya Budi Gunawan yang menggagalkan PDI-P memilih Jokowi sebagai pendamping Jokowi.
Konferensi pers Hasto itu berawal dari sebuah artikel di Kompasiana, yang berjudul Rumah Kaca Abraham Samad. Hasto membenarkan semua yang ditulis di artikel tersebut, yang sekaligus membuat kita patut sangat curiga bahwa jangan-jangan dia sendirilah penulisnya, atau pastilah penulisnya orang dalam PDI-P sendiri, karena bagaimana mungkin penulisnya yang menggunakan nama samaran Sawito Kartowibowo, bisa mengetahui semua detail pertemuan rahasia itu.
Ini jelas, merupakan tudingan yang paling serius kepada Ketua KPK. Dan, semakin merusak hubungan antara kubu Presiden Jokowi dengan KPK.
Sampai sejauh ini PDI-P belum beraksi terhadap tudingan Hasto Kristianto kepada Ketua KPK Abraham Samad itu. Jadi, apakah ini sama saja dengan PDI-P mendukung sikap Hasto itu? Jadi, apakah kubu Jokowi kini memlih frontal melawan KPK, bergandengan dengan Polri? Jadi, pada episode ketiga ini, bukan hanya melawan “buaya”, “cicak” juga harus berhadapan dengan “banteng”?
Pihak Istana sendiri, secara tak langsung sebenarnya sudah mementahkan tudingan Hasto tersebut.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, “Setahu saya (pertemuan) itu tidak dimungkinkan.” Karena, menurutnya, sebagai Ketua KPK, Abraham tidak mungkin bergerak sendirian, tanpa pengawal KPK. Selama ini, dalam setiap pertemuan dengan Ketua KPK, kata Andi, selalu di acara-acara resmi, yang ada staf KPK-nya (Harian Jawa Pos, Jumat, 23/01/2015).
Andi adalah satu satu sosok penting yang terlibat sejak awal pencalonan Jokowi sebagai presiden di Pilpres 2014 lalu. Saat itu dia masih berstatus akademisi, dan merupakan salah satu anggota dari tim sebelas. Tim tersebut beranggota politisi PDI-P dan sejumlah pakar. Mereka ditugaskan Megawati untuk memberi masukan kepada Jokowi dalam mencari calon wakin presidennya yang ideal. Hasto juga termasuk di dalam tim sebelas itu.
“Jadi, kami (tim sebelas dan Abraham Samad) tidak bisa bertemu atau wawancara dengan Abraham Samad. Yang bisa kami lakukan hanya (mengolah) data-data publik yang tersedia, terang Andi, Kamis, 22 Januari 2015 (Harian Jawa Pos).
Sedangkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, yang sampai saat Pilpres 2014 adalah Sekjen PDI-P juga mengaku tidak pernah melakukan dan tidak pernah tahu ada pertemuan rahasia dengan Abraham Samad dalam rangka penentuan salon wakil presiden utnuk mendampingi Jokowi itu. “Kalau ketemu beliau, ya, di acara resmi. Ada staf KPK-nya, tutur Tjahjo di Istana Bogor, Kamis, 22 Januari 2015.
Jadi, apakah mungkin pertemuan rahasia itu dilakukan diam-diam oleh Hasto sendiri bersama dengan beberapa petingi lain PDI-P lainnya?
Hasto harus bisa membuktikan semua tudingannya itu, karena jika benar tudingan tersebut, hal itu tersebut tidak hanya merupakan suatu pelanggaran disiplin Ketua KPK, tetapi sudah merupakan suatu kejahatan yang sangat besar. Seorang Ketua KPK memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan politiknya, dan melakukan barter politik dengan kasus hukum yang sedang ditangani KPK.
Konyolnya dari tudingan Hasto itu; jika tudingan itu pun benar, maka dengan sendirinya kejahatan besar itu melibatkan juga para petinggi PDI-P, termasuk Hasto, bahkan bisa menyeret pula Ketua Umum PDI-P, PDI-P secara kelembagaan, dan tak tertutup kemungkinan Jokowi sendiri. Karena mereka semua patut diduga terlibat dalam transaksi kejahatan politik dan hukum yang berujung kegagalan itu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar