Senin, 16 Februari 2015

BEBAS BANJIR MUNGKINKAH ?



 Kalau Anda sedang membutuhkan sebuah rumah dan mencari informasinya di internet, Anda akan menemukan istilah ini: “bebas banjir”. Atribut ini merupakan jaminan bahwa rumah yang ditawarkan tidak akan kedatangan tamu rutin yang menjengkelkan itu.
Memang, untuk sebuah rumah atau sebuah kompleks perumahan sangat mungkin kondisi bebas banjir itu diraih. Tapi, mungkinkah kondisi itu untuk skala kota, yang selama ini sudah menjadi langganan banjir? Seperti Jakarta, Semarang, Gorontalo, Manado, Padang dan banyak lagi kota lainnya di Indonesia? Jawabannya hanya tiga: “Sangat tidak mungkin. Mustahil!” atau “Mungkin saja terjadi, asal…..” Dan jawaban ketiga: “Tidak tahu.”
Blog ini dimaksudkan untuk membangun wacana, dan terutama mendorong aksi, bahwa sesungguhnya sangat mungkin kondisi bebas banjir (yang menyengsarakan) itu dicapai.

Istilah Banjir
Berkaitan dengan banjir, terdapat banyak istilah yang kerapkali digunakan baik dalam komunikasi verbal sehari-hari maupun di media masa. Istilah-istilah itu antara lain penanganan banjir, pengendalian banjir, pencegahan banjir, penanggulangan banjir, mitigasi banjir dan sebagainya.
Dengan mengacu pada Isnugroho (2002), dibedakan  dua istilah yaitu penanggulangan banjir dan pengendalian banjir. Penanggulangan banjir adalah kegiatan yang dilaksanakan selama banjir sedang berlangsung dan sesudah banjir berlalu. Sedangkan pengendalian banjir adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengupayakan agar tidak terjadi banjir.
Berkaitan dengan pengendalian banjir terdapat dua kegiatan pokok. Pertama, kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi volume air yang masuk dan melewati sungai. Kedua, kegiatan yang ditujukan untuk memperbesar daya tampung (kapasitas alur sungai).
Secara umum, setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan pengendalian banjir selama ini gagal. Pertama, tidak terintegrasinya pendekatan biofisik dan pendekatan institusi dalam berbagai program penanganan banjir.Kedua, meski peran masyarakat dianggap penting, namun dalam implementasinya peran serta masyarakat, secara tidak disadari, kerap masih dianggap sebagai non-faktor.
Karena itu, solusi penanganan banjir ke depan harus mengintegrasikan aspek biofisik dan aspek institusi, dan menempatkan masyarakat sebagai faktor utama dalam proses pengendalian banjir.
Pengertian institusi di sini mengacu pada pengertian yang dikemukakan oleh North (1990) dan Rodgers (1994)dalam Nugroho (2006), dimana institusi diartikan sebagai aturan main, norma-norma, larangan-larangan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku dalam masyarakat atau organisasi
Tulisan ini lebih banyak difokuskan pada ikhtiar untuk pengendalian banjir yang ditujukan untuk mengurangi volume air yang melewati sungai melalui aktifitas yang mengintegrasikan pendekatan biofisik dan institusi.

Tiga perspektif.
Melalui pendekatan pengelolaan DAS (daerah aliran sungai), persoalan banjir setidaknya dapat diterangkan dengan tiga perspektif.
Pertama, banjir sebagai fenomena debit puncak (peak discharge). Banjir terjadi karena debit puncak tidak dapat ditampung oleh dimensi sungai / saluran. Jika DAS dipahami sebagai sebuah hamparan wilayah, dimana hujan yang jatuh di hamparan wilayah itu akan menuju ke sungai yang sama, maka debit puncak merupakan akumulasi dari debit run off (limpasan permukaan) yang berasal dari tiap persil lahan di DAS yang bersangkutan.
Keberadaan persil lahan, yang melekat hak kepemilikan (property right) di dalamnya, memperoleh penekanan di sini. Persil lahan dapat berupa persil hutan, persil perkebunan, tanaman pangan, permukiman, industri, lahan basah, semak, dan sebagainya. Kepemilikan dapat berupa pemilikan oleh negara (state property), individu atau badan hukum swasta (private property), dan pemilikan bersama (common property), serta persil-persil yang secara de facto dapat dikategorikan open access.
Kompas
Banjir di Jakarta Tahun 2005. Sumber: Kompas
Dari perspektif ini, maka jika kita ingin mengendalikan banjir, maka setiap warga DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di DAS itu, harus ikut serta menurunkan debit limpasan yang keluar dari persil lahannya masing-masing.
Kedua, banjir sebagai akibat meningkatnya koefisien limpasan DAS, yaitu nisbah antara banyaknya air hujan yang menjadi limpasan permukaan dengan banyaknya air hujan yang jatuh di DAS yang bersangkutan. Setiap jenis penggunaan tanah memiliki koefisien limpasan yang berbeda. Koefisien limpasan suatu DAS merupakan rata-rata tertimbang dari koefisien limpasan masing-masing persil lahan. Jadi, jika kita ingin mengendalikan banjir (mengurangi koefisien limpasan DAS), maka setiap warga DAS harus berpartisipasi untuk menurunkan koefisien limpasan pada persil lahannya masing-masing.
Ketiga, banjir sebagai produk dari eksternalitas hidrologi yang negatif. Debit limpasan yang keluar dari setiap persil lahan, yang kemudian menyebabkan banjir, merupakan eksternalitas hidrologi yang negatif dari persil lahan itu. Setiap warga DAS berpotensi menjadi produsen eksternalitas hidrologi yang negatif, dimana biaya eksternalitasnya ditanggung oleh warga di hilir dalam bentuk banjir. Dari perspektif ini, maka banjir dapat dikendalikan jika setiap warga DAS melakukan upaya internalisasi.
Ketiga perspektif tersebut pada dasarnya menerangkan hal yang sama, bahwa untuk mengendalikan banjir di suatu wilayah DAS, maka setiap warga DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di wilayah DAS yang bersangkutan, harus melakukan ”sesuatu” yaitu mengadakan atau membangun sistem genangan dan atau sistem resapan di persil lahannya masing-masing.
Setidaknya terdapat dua rumpun teknologi untuk membangun sistem genangan atau sistem resapan di setiap persil. Pertama, rumpun teknologi konservasi tanah dan air. Dan kedua, rumpun teknologi pemanenan air hujan (rain water harvesting). Rumpun teknologi yang terakhir ini terutama dikembangkan di wilayah dengan curah hujan (CH) rendah (dibawah 1000 mm per tahun). Namun dengan berbagai kejadian kekeringan yang cenderung makin panjang akibat perubahan iklim global, teknologi pemanenan air hujan ini tampaknya harus mulai diperkenalkan di DAS yang memiliki CH tahunan yang relatif tinggi sekalipun.
Dua pendekatan terhadap perilaku
Dari pembahasan di atas, maka pengendalian banjir terutama berkaitan dengan perilaku warga DAS. Yaitu, bagaimana agar setiap warga DAS mau membangun sistem genangan dan atau sistem resapan (dengan teknologi konservasi tanah dan air atau teknologi pemanenan air hujan) di persil lahannya masing-masing.
Setidaknya terdapat dua pendekatan untuk memahami aspek perilaku ini, yaitu pendekatan normatif (normative approach) dan pendekatan pilihan rasional (rational choice approach). Menurut pendekatan normatif, seorang individu atau sebuah kelompok akan berperilaku tertentu karena didorong oleh apa yang disebut sebagai logika kepatutan (logic of approriateness). Logika ini sendiri merupakan hasil dari pemahaman kognitif dan proses internalisasi yang memakan waktu yang relatif lama.
Sedangkan menurut pendekatan pilihan rasional, perilaku individu atau kelompok merupakan respon terhadap aturan main (rules) atau insentif (incentives) yang ada. Aturan main ini dapat berupa aturan formal (formal rules) seperti peraturan perundang-undangan maupun aturan non formal (non-formal rules), misalnya kesepakatan-kesepakatan warga.
Di masyarakat sendiri, ada aturan yang tertulis (written rules) dan ada yang tidak tertulis (unwritten rules). Disamping itu ada aturan-aturan yang ditaati / diikuti (working rules) dan terdapat pula aturan-aturan yang tidak ditaati (non-working rules).
Dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan sumber daya alam, sering kali terdapat aturan yang bersifat formal dan tertulis tapi tidak ditaati atau tidak dapat ditegakan. Tidak tegaknya aturan itu antara lain berkaitan dengan kekurangan biaya untuk menegakannya (enforcement cost) atau berkaitan dengan kapasitas si penegak aturan.
Berbagai pelanggaran tata ruang, yang kerap ditengarai sebagai penyebab banjir, atau okupasi lahan sempadan sungai, dapat diterangkan dengan pendekatan ini. Sedangkan pada masyarakat adat yang memiliki berbagai bentuk kearifan lokal, aturan (rules) yang ada bersifat tidak formal (bukan produk negara), dan bahkan tidak tertulis, tapi justru ditaati.
Sedangkan insentif yang mempengaruhi perilaku dapat beragam mulai dari yang kasat mata, bersifat langsung  dan bernilai ekonomi maupun yang tidak kasat mata, tidak langsung,  dan bersifat non ekonomi.
Dari perspektif kedua pendekatan ini, maka membangun perilaku warga DAS dapat dilakukan dengan berupaya membangun perilaku yang berbasis logika kepatutan, serta membangun aturan dan insentif yang sesuai.
Upaya untuk membangun tindakan berbasis logika kepatutan dapat dilakukan melalui berbagai jenjang pendidikan, serta pendidikan non formal dan informal di masyarakat, serta berbagai bentuk kampanye publik.
Sedangkan yang berkaitan dengan aturan, maka yang justru perlu dibangun adalah bagaimana masyarakat lokal membuat aturan-aturan yang merupakan kesepakatan mereka sendiri di tingkat lokal (non-formal rules), dimana mereka sendiri yang menegakkan aturan-aturan itu. Peran pihak luar adalah sebagai fasilitator bagi masyarakat untuk membangun kesepakatan-kesepakatan itu serta menfasilitasi perealisasiannya.
Lalu, yang berkaitan dengan insentif, mekanisme imbal jasa hulu hilir serta insentif dalam bentuk tidak kasat mata, seperti aktivitas kerelawanan dan pahala yang dijanjikan setiap agama, dapat digunakan untuk membangun perilaku yang diinginkan dari setiap warga DAS.
Aksi Kolektif Lokal
Aspek penting lain yang kerap kali dilupakan berkaitan dengan pengendalian banjir adalah keharusan untuk adanya aksi kolektif (collective action). Meski tiap individu perlu melakukan ”sesuatu” di persilnya masing-masing, namun aksi individu, bagaimana pun optimalnya, tidak akan pernah efektif untuk menangani sumber daya alam yang memiliki karakteristik public good, seperti air hujan dan air limpasan permukaan.
Kompas
Aksi Kolektif Evakuasi Korban Banjir. Sumber: Kompas
Selain itu, meski terdapat beragam aturan (formal rules) yang mengharuskan individu untuk melakukan ”sesuatu” di persilnya masing-masing, seperti aturan tentang sumur resapan, aturan tentang KDB (koefisien dasar bangunan), dan aturan sempadan sungai, serta aturan tentang keharusan untuk melestarikan lahan pertaniannya, namun aturan-aturan itu dalam kenyataannya tidak bisa ditegakan.
Beberapa riset aksi menemukan bahwa ketika aturan formal sulit ditegakkan karena berbagai sebab, maka yang perlu diintrodusir adalah pengembangan kesepakatan-kesepakatan di tingkat lokal dalam bentuk aksi kolektif. Hal ini identik dengan membangun modal sosial warga.
Pertanyaannya adalah, pada level mana aksi kolektif dilakukan? Dalam berbagai referensi, aksi kolektif sebaiknya dilakukan pada level dimana komunitas itu memiliki tingkat kohesivitas sosial yang tinggi, atau memiliki pengalaman bekerjasama di masa lalu. Itu artinya,  pengendalian banjir dapat terjadi jika terdapat aksi kolektif di tingkat lokal di seluruh wilayah DAS. Think globally, act locally.
Disain kelembagaan
Dari paparan di atas, maka dapat diajukan sebuah kerangka disain kelembagaan untuk pengendalian banjir di suatu DAS.
Pertama, sosialisasi penambahan atribut kewargaan DAS. Karena setiap warga pasti tinggal di satu DAS, maka setiap warga harus mengetahui ia merupakan bagian dari DAS apa. Hal ini penting, karena apa yang dilakukan di persil lahannya secara kolektif akan mempengaruhi perilaku hidrologi DAS yang bersangkutan.
Kedua, fasilitasi aksi kolektif warga DAS. Pelaksanaan aktivitas ini disarankan pada level desa / kelurahan. Itu artinya, di tiap desa / kelurahan perlu difasilitasi terbentuknya semacam organisasi stakeholders lokal, misalnya Komite DAS Ciliwung Kelurahan X, yang akan mengkoordinir aksi kolektif warga di tingkat lokal.
Ketiga, fasilitasi pelatihan dan penyusunan rencana bagi Komite DAS di tiap desa / kelurahan agar mereka mampu membuat rencana untuk menurunkan koefisien limpasan di desa / kelurahan masing-masing. Aktivitas fasilitasi ini juga untuk memastikan agar rencana dari masing-masing Komite DAS di tiap kelurahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Prinsip dalam penyusunan dokumen rencana ini adalah memulai dari apa yang dipahami (teknologi yang dikuasai) oleh masyarakat.
Keempat, fasilitasi implementasi rencana Komite DAS. Prinsip untuk implementasi ini adalah membangun keberhasilan-keberhasilan kecil, mulai dari penerapan teknologi yang sederhana dan murah, seperti penerapan teknologi Lubang Resapan Biopori (LRB) atau pembibitan tanaman penghijauan, menuju ke teknologi yang lebih rumit dan membutuhkan biaya lebih besar. Untuk aktivitas ini, maka kerja sama berbagai pihak: pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan swasta, menjadi penting.
Kelima, memperkenalkan konsep relawan DAS. Peran lain Komite DAS di tiap desa / kelurahan adalah mengajak setiap warga DAS di desa / kelurahan yang bersangkutan yang peduli, mulai dari anak sekolah sampai orang dewasa, untuk menjadi relawan DAS. Tugas mereka adalah mengimplementasikan rencana yang telah dibuat. Penggunaan atribut-atribut relawan bekerjasama dengan pihak sponsor swasta dapat dipertimbangkan.
Keenam, memfasilitasi terbangunnya jaringan antar sesama Komite DAS Desa / Kelurahan, serta jaringan antara Komite-Komite DAS dengan institusi-institusi pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan dunia usaha.
Tugas pemerintah dalam disain kelembagaan seperti ini adalah menfasilitasi terbentuknya Forum DAS di tiap-tiap DAS, dimana Forum DAS ini nantinya akan bertugas menfasilitasi terbentuknya Komite DAS di tiap desa / kelurahan di DAS yang bersangkutan.
Disain kelembagaan yang polisentris seperti ini diharapkan dapat menjadi alternatif terhadap rendahnya kinerja pemerintah (di berbagai level) dalam pengendalian banjir di Indonesia selama ini.
Dan, jika disain kelembagaan seperti ini diterapkan secara konsisten, maka bebas banjir bukanlah sesuatu yang mustahil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar