PENDAPAT
PESTA RAKYAT
Masih ingat lagu Mars Pemilu tempo dulu yang di era
Orde Baru selalu dinyanyikan setiap kali menyambut pemilu? Petikan syairnya
berbunyi begini: “Pemilihan Umum telah memanggil kita. S’luruh rakyat
menyambut gembira. Hak Demokrasi Pancasila. Hikmah Indonesia merdeka…”
Saya padukan dengan premis tentang hakikat pemilu di Indonesia sebagai “pesta
demokrasi rakyat”, maka berdasarkan itu saya hendak menentang logika para
pengusung dan pendukung RUU Pemilukada yang hari-hari ini ramai dibicarakan.
Esensi dari RUU tersebut adalah: pemilihan kepala
daerah dilaksanakan melalui perwakilan partai politik di DPRD. Jadi, pemilu
untuk gubernur dan walikota/bupati yang sebelumnya diserahkan kepada rakyat
untuk memilihnya secara langsung, nantinya (jika RUU tersebut disetujui
menjadi UU) akan diserahkan kepada DPRD untuk memilihkannya bagi rakyat.
Itulah maksudnya pemilukada secara tidak langsung.
Tak pelak, sejumlah keberatan layak diajukan
terhadap RUU tersebut. Pertama, tahun 2007 Indonesia telah dipuji dan diakui
dunia internasional sebagai Negara Demokrasi ke-3 terbesar di dunia setelah
Amerika Serikat dan India. Alasannya, karena pemilu demi pemilu
pasca-Soeharto yang berhasil diselenggarakan dengan baik, lancar, dan bebas.
Bahkan sejak 2004, pemilu demi pemilu tersebut, baik di tingkat nasional
maupun lokal, baik untuk memilih anggita legislatif maupun presiden dan
kepala daerah, telah melibatkan rakyat secara langsung. Itulah kemajuan pesat
pemilu di Indonesia yang selama era Soeharto demokrasinya selalu semu.
Pertanyaannya, setelah demokrasi Indonesia dipuji
dan diakui dunia, haruskah kini Indonesia kembali melangkah mundur dengan
menghapuskan hak rakyat untuk memilih secara langsung?
Kedua, kalau pemilu merupakan pesta demokrasi,
siapakah sesungguhnya yang layak menikmati pesta tersebut? Tentu saja rakyat,
karena demokrasi itu sendiri hakikatnya adalah “dari, oleh dan untuk rakyat”.
Maka jelaslah di sana terkandung hak rakyat sebagai nilai yang utama, yang
tak boleh diganggu-gugat apalagi dihapuskan. Sekali demokrasi, secara
sistemik dan prosedural, sudah melangkah maju, ia tak sekali-kali boleh
melangkah surut ke belakang meski dengan alasan efisiensi biaya dan atau
alasan-alasan lainnya. Justru logikanya, karena pesta ini berlangsung hanya
lima tahun sekali, maka sewajarnyalah jika pesta tersebut dibuat semeriah
mungkin meski ada konsekuensinya dari segi biaya. Yang penting rakyat gembira
dan puas. Tidakkah pesta memang harus begitu? Dan bukankah pemilu sejatinya
adalah pesta rakyat, bukan pesta wakil rakyat?
Ketiga, dengan menghapus hak rakyat untuk memilih
kepala daerah secara langsung, maka sesungguhnya UU tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat
Indonesia dan menjamin hak setiap warga Negara, serta UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan hak kepada warga negara untuk
memilih kepala daerah.
Keempat, dengan menyerahkan mekanisme pemilihan kepala
daerah ke tangan para anggota DPRD, maka di sana terbuka celah untuk
terjadinya politik transaksional antara para elit partai di DPRD dengan calon
pemimpin daerah. Hal ini kelak dapat membuat tersanderanya kepala daerah pada
kepentingan partai atau beberapa partai pendukungnya yang dapat berakibat
diabaikannya kepentingan rakyat di daerah yang bersangkutan.
Kelima, jika RUU Pemilukada tersebut berhasil
disahkan, maka dapat dibayangkan ke depan kita sulit mendapatkan
pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas seperti Jokowi
Ahok hanya gara-gara terhambat oleh dukungan para anggota DPRD di daerah yang
bersangkutan. Ingatlah kasus Jokowi-Ahok. Jika dalam Pemilukada DKI Jakarta
2012 itu hak memilih berada di tangan DPRD, maka hampir dapat dipastikan
Jokowi-Ahok tak bakal menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Sebaliknya, pasangan Foke-Nara yang niscaya keluar sebagai pemenangnya.
Sebab, mereka didukung oleh mayoritas suara di DPRD: 77 suara. Sementara
Jokowi-Ahok hanya didukung minoritas: 17 suara. Tapi syukurlah, karena yang
memegang kedaulatan adalah rakyat, maka rakyat DKI Jakarta telah menjatuhkan
pilihannya saat itu: Jokowi-Ahok terpilih menjadi gubernur dan wakil
gubernur.
Keenam, jangan lupa bahwa berdasarkan hasil revisi
kedua UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasangan calon
independen diperbolehkan mengajukan diri menjadi calon kepala daerah.
Pertanyaannya, jika kelak mekanisme pemilihan kepala daerah diserahkan kepada
para anggota DPRD, bukankah peluang pasangan calon independen untuk memenangi
kontestasi calon kepala daerah ini sangat kecil – kalau tak mau dibilang
nihil?
Inilah yang kiranya patut dipikirkan berulang kali
oleh para wakil rakyat di DPR yang akan memutuskan nasib RUU Pemilukada
“minus hak rakyat” ini. Faisal Basri, mantan calon gubernur DKI tahun 2012
dari jalur independen itu, benar. RUU Pemilukada yang sedang dibahas di DPR
hari-hari ini hanya menodai reformasi dan berpeluang menutup kesempatan bagi
calon non-partai.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar