A. KASUS POSISI
Di
Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai PenerbanganWings
Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh
seorangadvokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa
kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion)
yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.Kasus
ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya,
pukul08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera
di tiket,ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari
informasi, tetapi ia merasakurang mendapat pelayanan. Pendek kata,
keberangkatan pesawat telat dari jadwal.DAVID menuding Wings Air telah
melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatankeberangkatan dan tidak
memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara.Selanjutnya DAVID
mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh
kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
B.
ANALISA KASUS
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh
sebagai suatu tindak pidana ekonomi makaharus dikaji terlebih dahulu mengenai
apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi danHukum Perlindungan Konsumen
sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam artiLuas
Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi
sebagaimana disebutkan olehProf. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana
yang mempunyai corak tersendiri, yaitucorak-corak ekonomi. Hukum tersebut
diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yangmenghambat perekonomian dan
kemakmuran rakyat
Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak
pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana
ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana
ekonomi dalam arti sempitadalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar
Undang-Undang 7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi
dalam arti luas adalah tindak pidanayang bertentangan dengan Undang-Undang
7/DRT/1955 serta undang-undang lain yangmengatur tentang tindak pidana ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang
dilakukan oleh pihak ManajemenWings Air dengan mencantumkan klausula baku pada
tiket penerbangan secara tegas merupakantindakan yang bertentangan dengan hukum
perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapatdiklasifikasikan sebagai
tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan
konsumen maka kita harus pulamembicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999
(UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang biladibandingkan
dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraupkeuntungan
yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi
kelemahan konsumen dalam perdaganganadalah tingkat kesadaran konsumen masih amat
rendah yang selanjutnya diketahui terutamadisebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan
hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungankonsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumensecara
integrative dan komprehensif dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen
sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen,
yaknisetiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagikepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti
konsumen yang dilindungi ialahkonsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang
berkesempatan untuk menjual kembaliatau reseller consumer.
Asas
yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi5
asas utama yakni :
Asas
Manfaat ; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungankonsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelakuusaha secara keseluruhan.
Asas
Keadilan ; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikankesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakankewajibannya secara adil.
Asas
Keseimbangan ; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha,dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
Asas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen ; memberikan jaminan
atas keamanan dankeselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas
Kepastian Hukum ; baik pelaku usaha
maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan
konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannyadari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan
konsumendalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasiserta
akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab
dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsunganusaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan dan keselamatankonsumen.
Sedangkan
ketentuan mengenai sanksi pidana dari Undang-Undang PerlindunganKonsumen yang
diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secaraUltimuum
Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa,
Hukum Administrasi dan HukumPerdata.
Tindakan
Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yangdijualnya,
dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo.
Pasal18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana
terhadapnyadapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling
banyak RP. 2.000.000.000,-,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum
Remedium.
Yang
dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara
sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak
kepada pihak yang lain.Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarangmembuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:a. menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihatatau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjianyang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dinyatakan bataldemi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undangini.
Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK
disebutkan bahwa tujuandari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan
kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak.
Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi
Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya. Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan
memuat klausul
“Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yangditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan
pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang
penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku
mengingat klausul yang termuat. dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak
Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan
tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada
penumpang.Atas dimuatnya klausula
tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen. Penyedia jasadapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian
yang timbul baik yangditimbulkan oleh
penyedia jasa sendiri maupun konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwatindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik
Lion Air bertentangan dengan pasal 18
UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.
Terkait dengan
penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapatsaya belum berjalan dengan efektif dan sesuai harapan.
Disana-sini penggunaan klausula tersebutmasih
marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai
sejauh ini pun penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantumanklausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan
indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru samapi pada tahap pemahaman dan sosialisasi.
Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang
memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatanatau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang
sedemikian rupa dan komplekssehingga
kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasatidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku
ekonomi terhadap konsumen.Kehadiran UUPK
jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia danmembuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang
dalam mengikuti perkembangansocial yang ada
pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum PidanaEkonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan
menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh
rakyat sebagaimanadisebutkan oleh
Prof. Bambang Purnomo.
SUMBER:
Eka Evisesman Z.
2EB10
22212402
Tidak ada komentar:
Posting Komentar